Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) Kertarajasa menggelar workshop bertema “Integrasi Nilai Moderasi Beragama dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Buddha” sebagai upaya menjawab tantangan kurikulum dan buku ajar Pendidikan Agama Buddha (PAB) di sekolah. Kegiatan yang berlangsung di Batu, 13 September 2025 ini dihadiri guru Pendidikan Agama Buddha Malang Raya dan mahasiswa STAB Kertarajasa. Narasumber Dian Tika Sujata, S.Pd.B., M.Pd., Dosen Institut Nalanda, dan Darsi, S.Ag., M.Pd.B., Pengawas Pendidikan Agama Buddha Kemenag Kabupaten Malang.
Workshop ini menjadi respons atas penelitian awal yang dilakukan oleh Dian Tika Sujata yang sedang menyelesaikan studinya di Program Doktor (S3) Pendidikan Karakter di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Hasil penelitian menemukan msalah seperti terdapat ketimpangan konten pada buku ajar kelas XI yang lebih banyak memaparkan ritual agama lain secara detail, namun hanya sedikit membahas keragaman aliran Buddhis seperti Theravāda dan Mahāyāna. Materi tentang aliran Buddhis hanya diberikan sebagai tugas mandiri. Padahal, pemahaman terhadap keragaman internal Buddhis adalah kunci penting membangun moderasi beragama.
Masalah lain, ditemukan kontroversi pada penyajian konsep Ketuhanan. Kurikulum 2013 menekankan konsep “Tuhan YME” sebagai titik persamaan semua agama, tetapi masih memuat pernyataan kontradiktif yang menyebut “diciptakan hanyalah pandangan salah dan mitos.” Sementara itu, Kurikulum Merdeka terlihat lebih netral dengan menyajikan tiga pandangan tentang terbentuknya bumi, termasuk pandangan Buddhis, tanpa penilaian normatif. Namun, kalimat yang menyebut “pujabakti ditujukan untuk Tuhan” masih memunculkan pertanyaan bagi sebagian praktisi pendidikan.
Dian Tika menekankan bahwa buku ajar justru menyimpan potensi besar sebagai sarana penguatan moderasi beragama. “Nilai-nilai Buddhis yang sudah ada bisa dikembangkan menjadi alat moderasi, sayangnya belum dimanfaatkan secara optimal,” ujarnya.
Selain analisis buku ajar, workshop ini juga membahas implementasi Kurikulum Berbasis Cinta (KBC). Darsi menegaskan bahwa pendidikan tidak hanya bertujuan mentransfer ilmu, tetapi juga membentuk karakter dan batin peserta didik.
“Kurikulum Cinta berbasis nilai Brahmavihara — Metta, Karuna, Mudita, dan Upekkha — diharapkan menumbuhkan moralitas, empati, dan keharmonisan sosial,” jelasnya. Guru, menurut Darsi, harus menjadi teladan cinta kasih dan menciptakan lingkungan belajar yang aman, nyaman, serta penuh welas asih.
Sesi diskusi berlangsung hangat. Ibu Lusi, seorang guru PAB, menanyakan apakah akan ada pembekalan resmi dari Kementerian Agama terkait KBC, karena banyak guru yang belum familiar dengan kurikulum ini.
Samanera Ariadi, mahasiswa STAB Kertarajasa dari Lombok, mengangkat isu fasilitas belajar. Ia khawatir saat praktik mengajar akan sulit mendapatkan ruang khusus pelajaran agama Buddha di sekolah umum. Di sekolahnya dulu di Lombok, ia tidak menemui kesulitan karena seluruh siswanya beragama Buddha. Masalah keterbatasan ruang khusus untuk pembelajaran PAB ini juga dinyatakan oleh para guru khususnya yang mempunyai jumlah siswa beragama Buddha yang sangat minim.
Supar, guru PAB Kota Batu, membagikan pengalaman sukses memperjuangkan ruang belajar khusus melalui komunikasi dengan pimpinan sekolah dan mencari donatur secara mandiri. Ia juga menceritakan program pembiasaan sekolahnya, yaitu Dhammapada, Paritta, Jataka, dan lagu Buddhis setiap hari. Pak Supar juga mendorong para guru untuk tidak hanya terpaku pada buku ajar, tetapi juga kreatif menggunakan sumber ajar lain dan mengembangkan strategi pembelajaran sendiri.
Mahasiswa STAB lain, Samanera Pandita, menambahkan tantangan lain dalam PAB, bagaimana guru menjawab pertanyaan sensitif seperti tuduhan “menyembah berhala” tanpa membuat siswa merasa malu dan enggan bertanya lagi. Menanggapi hal ini, Darsi menekankan pentingnya menjawab pertanyaan dengan dasar cinta kasih agar momen tersebut menjadi pembelajaran yang menyenangkan, bukan memecah jarak.
Workshop ditutup dengan komitmen bersama untuk mendorong perbaikan buku ajar agar memuat keragaman aliran Buddhis secara lebih seimbang dan bebas dari bias keagamaan. Para peserta sepakat pentingnya pelatihan bagi guru-guru PAB mengenai teknik pengajaran moderasi beragama berbasis nilai-nilai Buddhis, disertai upaya memperjuangkan ketersediaan fasilitas belajar yang layak di sekolah-sekolah. Selain itu, guru dan calon guru didorong untuk menjadi teladan cinta kasih yang membimbing siswa secara intelektual sekaligus emosional. Workshop ini juga menekankan pentingnya penguasaan keterampilan analisis teks buku ajar agar pendidik, dosen, dan mahasiswa mampu mengidentifikasi bias, menyusun bahan ajar inklusif, serta berkontribusi langsung dalam penilaian buku pendidikan di tingkat nasional.
Dengan kolaborasi terbuka antara akademisi, guru, dan pemangku kebijakan, STAB Kertarajasa berharap generasi muda Buddhis akan tumbuh menjadi pribadi yang cerdas, toleran, dan menjadi agen perdamaian di masyarakat.